Seorang petani budidaya cabe rawit, Susilo Nugroho warga asal Dusun Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur masih ingat kejadian Agustus tahun lalu. Saat itu buah cabe miliknya terlihat mengkilap jika terkena sinar matahari. Dan semakin lama semakin membusuk kemudian gagal di panen.
Namun kejadian tersebut tidak membuat Susilo kecewa, Ia justru bersyukur sebab dari total tiga hektar lahan budidaya cabe miliknya, hanya sekitar 10% yang gagal panen. Padahal di waktu yang sama, beberapa petani cabe yang ada di sekitarnya mengalami gagal panen hingga 50% dari total garapan ladang menanam cabai.
Rinda Kirana SP, seorang peneliti tanaman cabe dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung, Jawa Barat mengungkapkan bahwa pembusukan buah cabe seperti yang dialami oleh Susilo dan beberapa petani lainnya di Dusun Glagah tersebut disebabkan oleh cendawan coleotherium sp sebagai penyebab penyakit antraknosa pada budidaya cabai.
“Antraknosa umunya menyerang lahan budidaya tanaman cabe sejak kecil, sebab penularan cendawan tersebut berasal dari benih yang tidak berkualitas,” ujar Rinda. Serangan penyakit antraknosa atau kerap disebut sebagai penyakit pathek oleh para petani, dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan budidaya cabe gagal panen hingga 100%.
Penanggulangan Antraknosa Pada Lahan Budidaya Cabe
Rinda pun memberikan beberapa saran kepada para petani budidaya cabe untuk mencegah penyakit mematikan tersebut, diantara salah satunya adalah pemilihan bibit cabe yang benar-benar berkualitas dan terbebas dari berbagai macam penyakit, termasuk antraknosa. Setelah penentuan bibit unggul, pemakaian fungisida berbahan mankozeb dan klorotalonil juga dapat mencegah antraknosa.
Cara lainnya yang juga efektif adalah dengan melakukan teknik budidaya cabe intensif untuk menjaga tanaman cabe agar tetap sehat. “teknik pemupukan dengan dosis yang tepat, penyiangan, serta penggunakan pestisida yang tepat harus rutin dilakukan dan terkontrol,” Lanjut pemulia tanaman lulusan Universitas Padjajaran tersebut.
Budidaya cabe atau Capsicum annuum secara intensif tersebut yang juga dilakukan oleh Susilo. Sebanyak 200 kg pupuk phonksa yang dicampur dengan 2,5 ton pupuk organik dari sabut kelapa Ia benamkan di lahan seluas satu hektar miliknya. Pupuk organik dari bahan sabut kelapa memang diketahui mengandung bakteri Tricodherma sp.
Petani yang sudah melakukan budidaya cabe sejak tahun 2009 tersebut membenamkan pupuk dasar tadi kedalam guludan selebar 110 cm dan tinggi 30 cm. setelah satu minggu sejak pemberian pupuk tersebut dilakukan, Susilo kemudian menutup guludan tersebut dengan mulsa plastik berwarna hitam perak.
Tujuan pemasangan mulsa plastik tersebut untuk mencegah tumbuhnya gulma serta mengurangi terjadinya penguapan pada saat pemupukan maupun penyiraman dilakukan. Sementara untuk mencegah hama kutu kebul, tungau dan ulat grayak yang sering terjadi pada lahan budidaya cabe, Ia pun menyemprotkan insektisida berbahan imidakloprid dan provenovos dengan konsentrasi 0,5 g/l.
Susilo rutin memberikan insektisida tersebut setiap dua hari sekali sejak usia tanaman cabai miliknya berumur 10 hari sampai 100 hari sejak masa tanam. “Konsentrasinya saya tambah jadi 1g/l jika tanaman kelihatan terserang hama penyakit,” tambah Susilo
Sedangkan untuk mencegah antraknosa dan fusarium pada budidaya cabe miliknya, Susilo memberikan fungisida mankozeb 1 g/l di musim hujan. Sementara jika memasuki musim kemarau, fungisida tersebut diganti dengan bahan dasar propineb dengan konsentrasi 1 g/l. “ kalo musim hujan, disemprot rutin 2 hari sekali, tapi kalo musim kemarau cukup 4 hari sekali,” Tutur Pria 34 tahun tersebut.
Terbukti Ampuh
Cara menanam cabe dan pemeliharaan yang dilakukan secara intensif, untuk melawan hama penyakit seperti yang Susilo lakukan terbukti ampuh. Ia berhasil memanen 105 ton cabai segar atau hampir 90%. Sementara di waktu yang sama, teman-teman sesama petani cabai disekitarnya hanya mampu meraup panen paling banter 50% saja.
Sebenarnya petani yang lain juga melakukan perawatan intensif seperti yang Susilo lakukan. Hanya saja perbedaannya terletak pada pemberian pupuk dasar organik dari sabut kelapa yang Susilo lakukan, sedangkan petani yang lain murni 100% menggunakan pupuk kimia. Pupuk organik sabut kelapa yang mengandung bakteri Tricodherma sp tersebut terbukti mampu meningkatkan hasil panen cabe milik Susilo.
Prof Tualar Simarmata, seorang ahli tanah dari Universitas Padjadjaran, bandung mengungkapkan bahwa bakteri Tricodherma sp tidak hanya baik untuk budidaya cabe, namun juga untuk segala tanaman pada umumnya. “ Tricodherma memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai pengurai bahan organik yang dibutuhkan tanaman, serta berperan sebagai sistem imun terhadap berbagai macam penyakit tanaman,” ujar Tualar.
Jika tanaman memiliki system imunitas yang bagus, maka hal itu akan berkolerasi positif terhadap hasil panen. Ini dibuktikan pada lahan budidaya cabe miliki Susilo, yang dalam waktu yang bersamaan petani lainnya tidak mendapatkan hal yang sama. “padahal mereka berada di satu wilayah, yang tentunya kondisi cuaca dan lahannya juga sama,” tambah Tualar.
Mengetahui Susilo berhasil menjaga produktivitas budidaya cabe dilahan milikinya, para petani lain pun menanyakan rahasia jitu Susilo. “ kini semua petani membenamkan pupuk organic sabut kelapa yang mengandung Tricodherma tersebut untuk budidaya cabai mereka,” pungkas Susilo ramah.
Sumber : Trubus, dll
Apakah pemupukan hanya sekalli diawal saja 200 kg phonska dan 2,5 ton sabut kelapa.
Sabut kelapa disini apakah COCOPEAT ( yg sdh diolah difabriknya)
Bolehkah minta no kontak Bp Susilo
Terima lasih seblumnya
sama gan pertanyaanya juga gitu saya
dalam Budidaya Cabe Jawa, panennya dilakukan secara kontinyu atau musiman ya?